Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan untuk menjaga perdamaian dan membantu kemanusiaan. Namun, di tengah krisis global yang semakin kompleks, muncul pertanyaan: apakah PBB masih efektif, atau sekadar formalitas politik internasional?
Krisis kemanusiaan di Suriah, Yaman, hingga Sudan menunjukkan betapa sulitnya PBB mengambil tindakan tegas. Veto dari anggota tetap Dewan Keamanan kerap melumpuhkan keputusan penting.
Di sisi lain, badan-badan kemanusiaan PBB seperti UNICEF dan UNHCR tetap menjadi harapan bagi jutaan pengungsi. Bantuan pangan, kesehatan, dan pendidikan yang mereka salurkan terbukti menyelamatkan banyak nyawa.
Namun, efektivitasnya sering terhambat oleh keterbatasan dana. Banyak negara anggota tidak memenuhi kewajiban kontribusi mereka, membuat program PBB terganggu.
Selain itu, birokrasi yang rumit memperlambat respons PBB terhadap keadaan darurat. Sementara krisis kemanusiaan membutuhkan tindakan cepat, prosedur panjang sering membuat bantuan datang terlambat.
Kritik juga datang dari negara-negara kecil yang merasa suaranya tidak cukup didengar. Dominasi negara besar di Dewan Keamanan membuat keputusan PBB kerap berat sebelah.
Meski begitu, tanpa PBB, dunia mungkin akan lebih kacau. Keberadaannya, meski tidak sempurna, tetap penting sebagai forum dialog global.
Kesimpulannya, PBB berada di persimpangan jalan. Jika tidak melakukan reformasi serius, lembaga ini berisiko kehilangan relevansinya sebagai organisasi penjaga perdamaian dunia.